Menelanjangi Konsep Pendidikan Gaya Bank

Artikel354 Dilihat

Sejauh yang saya pahami, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah membebaskan pikiran untuk berimajinasi luas, menghidupkan daya kreasi murid, menjadikan pemikiran sebagai alat untuk mengubah isi dunia.

Sejauh ini banyak konsep yang saya temukan semuanya kontradiktif dengan keinginan pemikiran. Pemikiran seolah dikekang, diperkosa, setelah itu dilumpuhkan. Salah satu pengkerdilan terkejam adalah membiarkan raksasa pemikiran yang cemerlang menjadi budak-budak penindasan berkedok pendidikan.

Pendidikan lebih banyak membatasi, guru hanya datang ke kelas sebatas mentransferkan ilmunya saja, minim kreasi, penuh kejenuhan, tugas dan tugas, saya yakin murid pasti lebih memilih untuk malas membabi buta, daripada harus mengerjakan seabreg tugas yang sama sekali tidak membuatnya untuk berfikir.

Para guru lebih banyak bersikap sebagai pencerita di sebuah kelas, kemudian siswa disuruh mencatatnya, menghafalkan semua yang disampaikannya, penderitaan tercipta dari kasus hubungan guru dan muridnya ketika guru bertindak seperti itu melulu.

Pada dasarnya sudah terpampang kesalahan kesalahan fatal yang terjadi. Bagaimana guru bertindak sebagai pencerita lalu mengarahkan murid untuk menghafal secara mekanis.

Lebih kejam lagi, ketika murid diubahnya menjadi bejana-bejana kosong yang siap diisi. Semakin penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru. Semakin patuh wadah itu untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid.

Saya mengalami sendiri bagaimana sang dosen hanya berbuat formalitas saja, masuk kelas, kemudian sedikit menjelaskan materi, lantas kemudian memberikan tugas-tugas yang harus dikerjakan, jika mahasiswa tidak mengerjakan, konsekuensinya tidak mendapatkan nilai. Apakah tingginya nilai menjadi ukuran suksesnya mahasiswa?

Dewasa ini saya menemukan banyak gejala, khususnya di dunia pendidikan yang lagi lagi membuat saya harus mengetik sebuah kritikan untuk supaya mahasiswa sadar bahwa kesadaranya sedang dibunuh oleh para penindas yang mengatasnamakan pendidikan.

Jika Anda dikasih tugas, lalu kemudian Anda tidak bisa mengerjakannya, apa yang biasa Anda lakukan? Kebanyakan mahasiswa mencontek punya temannya. Secara tak sadar, pola pikir mereka sudah dibatasi dan diam diam dicekik hingga lumpuh.

Sebagaimana teori yang dianut oleh Paulo Freire dalam buku “Pendidikan Kaum Tertindas” saya menemukan kejanggalan-kejanggalan yang sama terjadi pada pola pendidikan hari ini.

Dalam buku tersebut, ada sebuah asumsi bahwa kesadaran kaum penindas cenderung untuk mengubah segala sesuatu di sekitarnya menjadi obyek kekuasaan mereka. Bumi, harta kekayaan, produksi, karya cipta manusia, manusia itu sendiri, waktu dan semuanya direduksi menjadi obyek yang berada dibawah kemauannya.

Tidak sedikit saya menemukan dosen yang berfikir materialis. Menjual karya-karya tak bermutunya untuk dibeli mahasiswa, seakan akan memaksa burung harus tenggelam kedalam air sungai. Sama sekali tidak akan pernah tercapai sebuah visi pendidikan.

Tapi saya tidak permasalahkan itu, yang masih menjadi unek-unek saya adalah tentang citra dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan gaya bank telah memasuki zona penguasaan. Dimana ruang gerak yang disediakan untuk murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpannya. Mereka dididik menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan sehingga miskin daya cipta dan daya ubah sang murid.

Dalam konsep gaya bank ini, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap berpengetahuan lebih kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Menganggap bodoh secara mutlak kepada orang lain adalah ciri dari ideology penindasan, yang berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian.

Ketahuilah bahwa kemampuan pendidikan gaya bank untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi siswa serta menumbuhkan sikap mudah percaya, menguntungkan kepentingan kaum penindas untuk semakin mudah menguasai objeknya.

Dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya adalah akan banyak terjadi pengangguran. Permasalahan semacam inilah yang sampai saat ini belum terpecahkan oleh pemerintah. Karena semakin banyaknya penganggur-penganggur sejati, maka nasib negara sedang diambang kehancuran.

Yang saya sadari betul bahwa selama apa yang saya pelajari, ternyata materi-materi itu yang semuanya mendidik saya menjadi siswa yang bermental budak. Setinggi-tingginya lulusan pendidikannya tidak akan melarikannya menjadi pengusaha sukses, Larinya paling paling jadi pekerja. Nasib yang ingin menjadi karyawan semakin banyak, karena persaingan semakin ketat, hingga akhirnya harus terjerembab kepada pengamgguran.

Solusinya adalah tidak ada cara lain selain masyarakat harus pandai berliterasi. Karena dengan literasi semuanya akan tercipta. Karena dengan literasi kita tidak hanya terpaku pada membaca dan menulis, melainkan pandai membaca gejala. Bagaimana gejala yang terjadi disulap menjadi sebuah peluang. Hingga akhirnya dapat mengurangi pengagguran-pengangguran.

Apakah yang saya sampaikan sepaham dengan yang Anda rasakan? Jika memang sama, cepatlah untuk mengambil tindakan sebelum semuanya berakhir mengenaskan.

Semoga tulisan sederhana ini bisa membantu menyadarkan kaum-kaum tertindas seperti saya ini.