SINARPRIANGAN NEWS (30-10-2024)
Kabupaten Garut pernah berhasil menerima penghargaan dari Ombudsman Republik Indonesia
dengan nilai kepatuhan pelayanan publik yang tinggi, mencapai nilai 95 pada tahun 2023, yang
menunjukkan adanya peningkatan komitmen dalam pelayanan kepada masyarakat.
Penghargaan ini menempatkan Garut dalam kategori kepatuhan sangat tinggi di antara
kabupaten di Indonesia. Pencapaian ini menunjukkan kemajuan dalam reformasi birokrasi dan
kesadaran akan pentingnya pelayanan publik yang efektif di lingkungan pemerintahan.
Bagaimana dengan fakta pelayanan di kabupaten Garut selama periode 10 tahun kepemimpinan
Rudy- Helmi tersebut?
Capaian tersebut dapat dibanggakan tetapi kita harus melihat potret sesungguhnya mengenai
pelayan public ini. Meski ada pencapaian dalam pelayanan, angka kemiskinan tetap menjadi
isu signifikan selama masa kepemimpinan Rudy-Helmi, dan upaya pengurangannya masih
dinilai belum optimal. Beberapa pihak berpendapat bahwa tingginya angka kemiskinan
menunjukkan masih adanya masalah struktural dalam pelayanan publik yang berdampak
langsung pada kesejahteraan masyarakat. Selain itu, ada kritik terhadap beberapa kebijakan
yang dianggap kurang responsif dan kurang inovatif, terutama dalam menangani tantangan-
tantangan modern yang memerlukan pendekatan digital dan efisiensi
Jika dibandingkan dengan standar pelayanan publik modern, seperti yang diusung dalam
konsep New Public Service (NPS), pemerintahan Rudy-Helmi mungkin kurang optimal dalam
melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
kebijakan. Pelayanan publik era modern menekankan pentingnya pendekatan yang lebih
berorientasi pada kebutuhan masyarakat, transparansi, dan pemanfaatan teknologi digital, yang
mungkin belum sepenuhnya terintegrasi dalam pelayanan di Garut selama dekade terakhir.
Analisis Realita Atas Indikator Utama Penilaian dari Ombudsman
Indikator utama yang digunakan Ombudsman dalam menilai kepatuhan dan kualitas pelayanan
publik biasanya mencakup beberapa poin penting, seperti standar pelayanan, transparansi,
akuntabilitas, efisiensi, dan kompetensi sumber daya manusia. Namun, dalam praktiknya,
meskipun pemerintah Kabupaten Garut mendapatkan skor tinggi pada aspek ini pada tahun
2023, ada beberapa kelemahan yang ditemui, terutama ketika fakta lapangan tidak sejalan
dengan indikator-indikator yang digunakan
Standar Pelayanan yang Tidak Konsisten:
Standar layanan di atas kertas tidak terwujud secara konsisten dalam praktik. Meskipun
panduan layanan mungkin lengkap dan jelas, implementasinya di lapangan bisa jauh dari ideal.
Ini bisa disebabkan oleh ketiadaan pengawasan yang ketat atau kurangnya pelatihan bagi
petugas pelayanan untuk mematuhi prosedur yang telah ditetapkan maupun akibat dari
resistensi terhadap perubahan dalam penggunaan standar. Lebih parah lagi, jika terjadi inertia
organisasi atau dinas-dinas pemerintah Kabupaten Garut yang lebih mempertahankan status
quo dalam melakukan pelayanan. Masyarakat kabupaten Garut sering direpotkan oleh urusan
administrasi pemerintahan yang terlalu kaku dan birokratis. Contohnya, bagaimana sulitnya masyarakat dalam mendapatkan layanan KTP. Padahal kalua mau jujur, pemberian identitas
warga negara itu kewajiban negara tetapi justru terbaik, masyarakat memiliki kesadaran akan
identitasnya tetapi pelayanan tidak maksimal.
Transparansi dan Akuntabilitas Terbatas:
Walaupun transparansi adalah syarat utama dalam penilaian Ombudsman, realitas di lapangan
menunjukkan masih adanya keluhan masyarakat tentang kurangnya informasi mengenai alur
pelayanan, biaya yang dikenakan, atau prosedur pengaduan. Kadang-kadang, masyarakat
kesulitan mendapatkan informasi akurat tentang proses layanan atau tindak lanjut atas
pengaduan yang mereka ajukan. Contohnya, dalam mengurus Izin Mendirikan Banguan (yang
berubah menjadi Pendaftaran Bangnan Gedung). Sudah jelas bahwa PBG bertujuan untuk
memberikan kemudahan dan percepatan dalam pembangunan, serta mendorong transparansi
dan akuntabilitas dalam proses perizinan. Faktanya masyarakat harus mengeluarkan uang yang
lebih besar untuk ini dengan alas an harus membayar konsultan yang sudah ditunjuk oleh
pemerintah dan harganya sangat fantastis. Ironisnya lagi, bangunan yang sudah jadipun harus
dibuatkan persyaratan seperti yang belum dibangun.
Kompetensi SDM dan Responsivitas yang Bervariasi:
Meskipun pegawai pemerintah mungkin sudah mengikuti pelatihan, kualitas pelayanan di
berbagai titik tetap bisa berbeda-beda. Ada keluhan tentang pegawai yang lamban atau kurang
responsif, yang menunjukkan adanya kesenjangan antara standar kompetensi yang ditetapkan
dan kemampuan aktual pegawai dalam memberikan pelayanan berkualitas.
Efisiensi Waktu dan Proses Pelayanan yang Kurang Optimal:
Salah satu keluhan umum adalah waktu pelayanan yang tidak sesuai dengan target yang
ditetapkan. Misalnya, waktu tunggu yang panjang atau persyaratan administratif yang
kompleks membuat warga merasa proses pelayanan tidak efisien. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun waktu pelayanan menjadi salah satu indikator kunci, pelaksanaannya belum
maksimal.
Kurangnya Pengawasan dan Evaluasi Berkelanjutan:
Ombudsman mengukur kepatuhan secara berkala, namun dalam jangka panjang, tanpa
pengawasan yang berkelanjutan, instansi pemerintah cenderung kembali pada pola lama.
Evaluasi dari Ombudsman mungkin berhasil memicu perbaikan sementara, tetapi tantangan
akan berulang jika tidak ada mekanisme yang memastikan keberlanjutan kualitas layanan.
Proses Perencanaan Pembangunan yang Formalistik:
Dalam praktiknya, partisipasi masyarakat seperti dalam Musrenbangdes sering kali dibatasi
pada aspek administratif atau sekadar sebagai bentuk formalitas. Warga jarang memiliki
kesempatan nyata untuk menyampaikan masukan yang substansial, dan keputusan sering kali
sudah diprioritaskan oleh pejabat terkait sebelum musyawarah berlangsung. Akibatnya,
masukan dari masyarakat kadang tidak terakomodasi dengan baik dan hanya memenuhi
kebutuhan dokumentasi formal saja. Usulan yang diajukan dalam Musrenbang sering kali tidak
dapat direalisasikan dengan alas an keterbatasan anggaran. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa enggan untuk benar-benar berpartisipasi, karena beranggapan bahwa musyawarah tidak
memberikan dampak nyata terhadap pembangunan yang mereka harapkan.
Selain itu, banyak keputusan dalam Musrenbang masih ditentukan secara top-down, di mana
pemerintah daerah atau kecamatan memiliki pengaruh besar dalam menentukan prioritas
program. Dalam beberapa kasus, prioritas yang ditetapkan di tingkat atas mungkin tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat setempat, namun tetap diutamakan demi memenuhi target
administrasi atau agenda politik tertentu. Masyarakat sering mendapatkan akses yang sangat
terbatas dan terkadang tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai kinerja pemerintahan
secara utuh. Mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, terutama pada tahap
pelaksanaan. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas ini menimbulkan kesan bahwa
Musrenbang hanya sekadar agenda tahunan tanpa dampak konkret terhadap pembangunan desa
atau kecamatan.
Pelaksanaan Musrenbang sering kali mengikuti pola pikir dan prosedur yang kaku tanpa
adanya inovasi atau perubahan. Hal ini menyebabkan Musrenbang kurang dinamis dan tidak
mampu mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat yang terus berubah.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, meskipun Garut mendapatkan pengakuan tinggi dalam pelayanan publik,
masih banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan setelah merka memimpin Garut selama 10
tahun yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa semua masyarakat dapat merasakan
manfaat dari reformasi yang telah dilakukan, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan
dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masihkah layak diberikan
kesempatan untuk melakukan perubahan setelah 10 tahun tingkat kemiskinan masih tinggi,
kesejahteraan masyarakat masih rendah dan partisipasi yang tidak maksimal. (Asan)